http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2009/07/jerald-f-dirks.jpg
Add caption |
dakwatuna.com – Jerald F Dirks, sebelumnya ialah
seorang pendeta yang dinobatkan sebagai Ketua Dewan Gereja Metodis Kini
peraih gelar Bachelor of Arts (BA) dan Master of Divinity (M Div) dari
Universitas Harvard, serta pemegang gelar Master of Arts (MA) dan Doctor
of Psychology (Psy D) dari Universtas Denver, Amerika Serikat,
menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.
Dibesarkan di tengah
lingkungan masyarakat penganut kepercayaan Kristen Metodis, membuat
Jerald kecil terbiasa dengan suara dentingan lonceng yang kerap mengalun
dari sebuah bangunan tua Gereja Kristen Metodis yang berjarak hanya dua
blok dari rumahnya. Bunyi lonceng yang bergema setiap Minggu pagi ini
menjadi tanda bagi seluruh anggota keluarganya agar segera menghadiri
kebaktian yang diadakan di gereja.
Tidak hanya dalam urusan
kebaktian saja, tetapi juga dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan
oleh pihak Gereja Kristen Metodis, seluruh anggota keluarga ini turut
terlibat secara aktif. Karenanya tak mengherankan jika sejak usia
kanak-kanak Jerald sudah diikutsertakan dalam kegiatan yang diadakan
oleh pihak gereja. Salah satunya adalah mengikuti sekolah khusus selama
dua pekan yang diadakan oleh pihak gereja setiap bulan Juni. Selama
mengikuti sekolah khusus ini, para peserta mendapat pengajaran mengenai
Bibel.
”Secara rutin saya mengikuti sekolah khusus ini hingga
memasuki tahun kedelapan, selain kebaktian Minggu pagi dan sekolah
Minggu yang diadakan setiap akhir pekan,” ungkap muallaf kelahiran
Kansas tahun 1950 ini. Diantara para peserta sekolah khusus ini, Jerald
termasuk yang paling menonjol. Tidak pernah sekalipun ia absen dari
kelas. Dan dalam hal menghafal ayat-ayat dalam Bibel, ia kerap
mendapatkan penghargaan.
Keikutsertaan Jerald dalam setiap
kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas Gereja Metodis terus
berlanjut hingga ia memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Diantaranya ia terlibat secara aktif dalam organisasi kepemudaan Kristen
Metodis. Dia juga kerap mengisi khotbah dalam acara kebaktian Minggu
yang khusus diadakan bagi kalangan anak muda seusianya.
Dalam
perjalanannya, khotbah yang ia sampaikan ternyata menarik minat
komunitas Kristen Metodis di tempat lain. Ia pun kemudian diminta untuk
memberikan khotbah di gereja lain, panti jompo, dan dihadapan
organisasi-organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan Gereja Metodis.
Sejak saat itu Jerald bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta kelak.
Ketika
diterima di Universitas Harvard, Jerald tidak mensia-siakan kesempatan
demi mewujudkan cita-citanya itu. Ia mendaftar pada kelas perbandingan
agama yang diajar oleh Wilfred Cantwell Smith untuk dua semester. Di
kelas perbandingan agama ini Jerald mengambil bidang keahlian khusus
agama Islam.
Namun, selama mengikuti kelas ini Jerald justru lebih
tertarik untuk mempelajari agama Budha dan Hindu. Dibandingkan dengan
Islam, menurut dia, kedua ajaran agama ini tidak ada kemiripan sama
sekali dengan keyakinan yang ia anut selama ini.
Akan tetapi untuk
memenuhi tuntutan standar kelulusan akademik, Jerald diharuskan untuk
membuat makalah mengenai konsep wahyu dalam Alquran. Ia mulai membaca
berbagai literatur buku mengenai Islam, yang sebagian besar justru
ditulis oleh para penulis non-muslim. Ia juga membaca dua Alquran
terjemahan bahasa Inggris dalam versi yang berbeda.
Diluar
dugaannya buku-buku tersebutlah yang di kemudian hari justru
membimbingnya ke kondisi seperti saat ini. Makalah tersebut membuat
pihak Harvard memberikan penghargaan Hollis Scholar kepada Jerald.
Sebuah penghargaan tertinggi bagi para mahasiswa jurusan Teologi
Universitas Harvard yang dinilai berprestasi.
Untuk mewujudkan
cita-citanya, bahkan Jerald rela mengisi liburan musim panasnya dengan
bekerja sebagai seorang pendeta cilik di sebuah Gereja Metodis terbesar
di negeri Paman Sam tersebut. Pada musim panas itu pula ia mendapatkan
sertifikat untuk menjadi seorang pengkhotbah dari pihak Gereja Metodis
Amerika.
Setelah lulus dari Harvard College di tahun 1971, Jerald
langsung mendaftar di Harvard Divinity School atau sejenis sekolah
tinggi teologi atas beasiswa dari Gereja Metodis Amerika. Selama
menempuh pendidikan di bidang teologi, Jerald juga mengikuti program
magang sebagai di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston.
Ia
lulus dari sekolah tinggi ini tahun 1974 dan mendapatkan gelar Master di
bidang teologi. Selepas meraih gelar master teologi, ia sempat
menghabiskan liburan musim panasnya dengan menjadi pendeta pada dua
Gereja Metodis Amerika yang berada di pinggiran Kansas.
Aktivitasnya
sebagai seorang pendeta tidak hanya terbatas di lingkungan gereja saja.
Ia mulai merambah ke cakupan yang lebih luas, mulai dari lingkungan
sekolah, perkantoran, hingga pesan-pesan ajaran Kristen Metodis ia juga
gencar sampaikan kepada para pasien yang datang ke tempat praktiknya
sebagai seorang dokter ahli kejiwaan.
Meninggalkan aktivitas gereja
Namun,
berbagai upaya dakwah ini dinilainya tidak memberikan dampak positif
terhadap kehidupan masyarakat di sekitar ia tinggal. Ia justru
menyaksikan terjadinya penurunan moralitas di tengah-tengah kehidupann
beragama masyarakat Amerika. Bahkan kondisi serupa juga terjadi di
lingkungan gereja.
”Dua dari tiga pasangan di Amerika selalu
berakhir dengan perceraian, aksi kekerasan meningkat di lingkungan
sekolah dan di jalanan, tidak ada lagi rasa tanggung jawab dan disiplin
di kalangan anak muda. Bahkan yang lebih mencengangkan diantara para
pemuka Kristen ada yang terlibat dalam skandal seks dan keuangan.
Masyarakat Amerika seakan-akan sedang menuju kepada kehancuran moral,”
paparnya.
Melihat kenyataan seperti ini, Jerald mengambil
keputusan untuk menyendiri dan tidak lagi menjalani aktivitasnya
memberikan pelayanan dan khotbah kepada para jemaat. Sebagai gantinya ia
memutuskan untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan penelitian yang
dilakukan oleh sang istri. Penelitian mengenai sejarah kuda Arab ini
membuat ia dan istrinya melakukan banyak kontak dengan warga Amerika
keturunan Muslim Arab . Salah satunya adalah dengan Jamal.
Babak pergaulan dengan Arab Muslim
Pertemuan
Jerald dengan pria Arab-Amerika ini pertama kali terjadi pada musim
panas tahun 1991. Dari awalnya sekedar berhubungan melalui sambungan
telepon, kemudian berlanjut pada saat Jamal berkunjung ke rumah Jerald.
Pada kunjungan kali pertama ini, Jamal menawarkan jasa untuk
menterjemahkan berbagai literatur dari bahasa Arab ke Inggris yang
disambut baik oleh Jerald dan istrinya.
Ketika waktu shalat ashar
tiba, sang tamu kemudian meminta izin agar diperbolehkan menggunakan
kamar mandi dan meminjam selembar koran untuk digunakan sebagai alas
shalat. Apa yang diminta oleh tamunya itu diambilkan oleh Jerald,
kendati dalam hati kecilnya ia berharap bisa meminjamkan sesuatu yang
lebih baik dari sekedar lembaran surat kabar sebagai alas shalat. Untuk
kali pertama ia melihat gerakan shalat dalam agama Islam.
Aktivitas
shalat ashar itu terus ia lihat manakala Jamal dan istrinya berkunjung
ke rumah mereka seminggu sekali. Dan, hal itu membuat Jerald terkesima.
”Selama berada di rumah kami, tidak pernah sekalipun ia memberikan
komentar mengenai agama yang kami anut. Begitu juga ia tidak pernah
menyampaikan ajaran agama yang diyakininya kepada kami. Yang dia lakukan
hanya memberikan contoh nyata yang amat sederhana, seperti berbicara
dengan suara serendah mungkin jika ada diantara kami yang bertanya
mengenai agamanya. Ini yang membuat kami kagum,” ungkapnya.
Dari
perkenalannya dengan Jamal dan keluarganya, justru Jerald mendapat
banyak pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Sang tamu
telah menunjukkan kepadanya sebuah pelajaran disiplin melalui shalat
yang dilaksanakannya. Selain pelajaran moral dan etika yang
diperlihatkan Jamal dalam urusan bisnis dan sosialnya serta cara Jamal
berkomunikasi dengan kedua anaknya. ”Begitu juga yang dilakukan oleh
istrinya menjadi contoh bagi istriku.”
Tidak hanya itu, dari
kunjungan tersebut Jerald juga mendapatkan pengetahuan seputar dunia
Arab dan Islam. Dari Jamal, ia bisa mengetahui tentang sejarah Arab dan
peradaban Islam, sosok Nabi Muhammad, serta ayat-ayat Alquran berikut
makna yang terkandung di dalamnya. Setidaknya Jerald meminta waktu
kurang lebih 30 menit kepada tamunya untuk berbicara mengenai segala
aspek seputar Islam. Dari situ, diakui Jerald, dirinya mulai mengenal
apa dan bagaimana itu Islam.
Kemudian oleh Jamal, Jerald
sekeluarga diperkenalkan kepada keluarga Arab lainnya di masyarakat
Muslim setempat. Diantaranya keluarga Wa el dan keluarga Khalid. Dan
secara kontinyu, ia melakukan interaksi sehari-hari dengan komunitas
keluarga Arab Amerika ini. Dari interaksi tersebut, Jerald mendapatkan
sesuatu ajaran dalam Islam yang selama ini tidak ia temui manakalan
berinteraksi dengan komunitas masyarakat Kristen, yakni rasa
persaudaraan dan toleransi.
Baru di awal Desember 1992, sebuah
pertanyaan mengganjal timbul dalam pikirannya, ”Dirinya adalah seorang
pemeluk Kristen Metodis, tapi kenapa dalam keseharian justru bergaul dan
berinteraksi dengan komunitas masyarakat Muslim Arab?.” Sebuah
komunitas masyarakat yang menurutnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral
dan etika, serta mengedepankan sikap saling menghargai baik terhadap
pasangan masing-masing, anggota keluarga maupun sesama. Sebuah kondisi
yang pada masa sekarang hampir tidak ia temukan dalam masyarakat
Amerika.
Serangkaian Kejadian Tak Terduga
Untuk
menjawab keraguannya itu, Jerald memutuskan untuk mempelajari lebih
dalam ajaran Islam melalui kitab suci Alquran. Dalam perjalanannya
mempelajari Aquran, sang pendeta ini justru menemukan nilai-nilai yang
sesuai dengan hati kecilnya yang selama ini tidak ia temukan dalam
doktrin ajaran Kristen yang dianutnya.
Kendati demikian, hal
tersebut tidak lantas membuatnya memutuskan untuk masuk Islam. Ia merasa
belum siap untuk melepaskan identitas yang dikenakan selama hampir 43
tahun lamanya dan berganti identitas baru sebagai seorang muslim.
Begitu
pun ketika ia bersama sang istri memutuskan untuk mengunjungi kawasan
Timur Tengah di awal tahun 1993. Ketika itu, ia seorang diri makan di
sebuah restoran yang hanya menyajikan makanan Arab setempat. Sang
pemilik restoran, Mahmoud, kala itu memergoki dirinya tengah membaca
sebuah Alquran terjemahan bahasa Inggris. Tanpa berkata sepatah kata
pun, Mahmoud melontarkan senyum ke arah Jerald.
Kejadian tak
terduga lagi-lagi menghampirinya. Istri Mahmoud, Iman, yang merupakan
seorang Muslim Amerika, mendatangi mejanya sambil membawakan menu yang
ia pesan. Kepadanya Iman berkomentar bahwa buku yang ia baca adalah
sebuah Alquran. Tidak hanya itu, Iman juga bertanya apakah Jerald
seorang muslim sama seperti dirinya. Pertanyaan tersebut lantas ia jawab
dengan satu kata: Tidak.
Namun ketika Imam menghampiri mejanya
untuk menyerahkan bukti tagihan, tanpa disadari Jerald melontarkan
kalimat permintaan maaf atas sikapnya, seraya berkata: ”Saya takut untuk
menjawab pertanyaan Anda tadi. Namun jika Anda bertanya kepada saya
apakah saya percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, maka jawaban saya adalah
ya. Jika Anda bertanya apakah saya percaya bahwa Muhammad adalah salah
satu utusan Tuhan, maka jawaban saya akan sama, iya.” Mendengar jawaban
tersebut, Iman hanya berkata: ”Tidak masalah, mungkin bagi sebagian
orang butuh waktu lama dibandingkan yang lain.”
Ikut berpuasa dan shalat
Ketika
memasuki minggu kelima masa liburannya di Timur Tengah atau bertepatan
dengan masuknya bulan Ramadhan yang jatuh pada bulan Maret tahun 1993,
untuk kali pertama Jerald dan istrinya menikmati suasana lain dari
ibadah orang Muslim. Demi menghormati masyarakat sekitar, ia dan istri
ikut serta berpuasa. Bahkan pada saat itu, Jerald juga mulai ikut-ikutan
melaksanakan shalat lima waktu bersama-sama para temannya yang Muslim
dan kenalan barunya yang berasal dari Timur Tengah.
Bersamaan
dengan akan berakhirnya masa liburannya menjelajah kawasan Timur Tengah,
hidayah tersebut akhirnya datang. Peristiwa penting dalam hidup Jerald
ini terjadi manakala ia diajak seorang teman untuk mengunjungi Amman,
ibukota Yordania.
Pada saat ia melintas di sebuah jalan di pusat
ibukota, tiba-tiba seseorag lelaki tua datang menghampirinya seraya
mengucapkan, Salam Alaikum dan mengulurkan tangan kanannya untuk
bersalaman, serta melontarkan pertanyaan apakah iaseorang Muslim?.
Sapaan salam dalam ajaran Islam itu membuatnya kaget. Di sisi lain,
karena kendala bahasa, ia bingung harus menjelaskan dengan cara apa ke
orang tua tersebut bahwa ia bukan seorang Muslim. Terlebih lagi teman
yang bersamanya juga tidak mengerti bahasa Arab.
Mengikrarkan Keislaman
Saat
itu Jerald merasa dirinya tengah terjebak dalam situasi yang sulit
diungkapkan. Pilihan yang ada dihadapannya saat itu hanya dua, yakni
berkata N’am yang artinya iya atau berkata La yang berarti tidak. Hanya
ia yang bisa menentukan pilihan tersebut, sekarang atau tidak sama
sekali.
Setelah berpikir agak lama dan memohon petunjuk dari
Allah, Jerald pun menjawabnya dengan perkataan N’am. Sejak peristiwa
tersebut, ia resmi menyatakan diri masuk Islam. Beruntung hidayah
tersebut juga datang lepada istrinya di saat bersamaan. Sang istri yang
kala itu berusia 33 tahun juga menyatakan diri sebagai seorang Muslimah.
Bahkan
tidak lama berselang setelah kepulangannya ke Amerika, salah seorang
tetangganya yang juga merupakan seorang pendeta mendatangi kediamannya
dan menyatakan ketertarikannya tehadap ajaran Islam. Dihadapannya,
tetangganya yang telah berhenti menjadi pendeta Metodis ini pun berikrar
masuk Islam.
Kini hari-hari Jerald dihabiskan untuk kegiatan
menulis dan memberikan ceramah tentang Islam dan hubungan antara Islam
dan Kristen. Bahkan ia juga kerap diundang sebagai bintang tamu dalam
program Islam di televisi di banyak negara.
Salah satu hasil
karyanya yang menjadi best seller adalah “The Cross and the Crescent: An
Interfaith Dialogue between Christianity and Islam”. Selain itu ia juga
menulis lebih dari 60 artikel tentang ilmu perilaku, dan lebih dari 150
artikel tentang kuda Arab dan sejarahnya. (RoL/dia/berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar